Tugu Bandang Lele
Oleh : Saiful Anam Assyaibani
DI SUDUT timur bagian selatan alun-alun kota lamongan terdapat sebuah tugu. Tugu tersebut didirikan sebagai penanda perputaran tiga ruas jalan. Tidak begitu megah memang, cukup indah. Jika ada seseorang yang memperhatikan lebih dekat, maka dia akan mendapati tugu itu seperti helaian air mancur dengan dua jenis ikan di atasnya yang menandai ikon kota tersebut. Orang orang menyebutnya Tugu Bandeng lele.
“Syukurlah ini masih ada pejabat yang mencintai seni,” ucap seorang seniman lukis yang wajahnya tampak lebih tua dari usianya. Dia memandang tugu itu dengan tatapan sayu.
“Berhala sahut kris dolok sambil terkekeh.”
“Memangnya kamu tahu ada berhala berbentuk ikan?”
“Itu!” Kris menunjuk tubuh dengan tangan kiri sambil menutupi matanya dengan tangan kanan.
“Saya semakin yakin kamu tidak pernah melihat berhala.”
“Tentu saja saya pernah melihatnya.” Kris menunjuk dadanya, dan Jumartono yang seniman lukis itupun mengerutkan alisnya dan menatap Kris dengan tajam, karena dia tidak pernah menganggap temannya sesama seniman lukis itu sebagai berhala.
Tiba-tiba seekor burung gereja hinggap di kepala kris, mungkin burung itu mengira kalau rambut seniman drawing yang gondrong itu adalah sarang tempat berdiam.
Kali ini giliran Jumartono yang terkekeh menertawai peristiwa seekor burung yang tersesat. “Tahan Keris, jangan bergerak!” Jumartono mengambil gawai di sakunya, kemudian membawa memosisikan diri sebagai fotografer. “Sumpah ini keren sekali.” Kris kaku semati tugu.
“Bagaimana, apa saya sudah mirip berhala?” dan burung pun terbang tak bertuan.
Seperti orang senewen anyaran, Jumartono berlutut di hadapan Kris “Eli Eli Lama Sabachthani.” Lantas dengan hati yang girang, Jumartono menari seperti balerina mengitari Kris.
“Jancuk! Sempel!”
Lantas mereka berdua saling tertawa meski tidak tahu apa sebenarnya yang sedang mereka tertawakan. Yang jelas tidak semua seniman bercanda dengan cara yang gila.
Lamongan, 2019
Candrakirana Edisi 164 - Januari 2020 |
SAIFUL ANAM ASSYAIBANI, Bergiat bareng Komunitas Sastra dan Teater Lamongan (KOSTELA) juga Literasi Institute Lamongan. Beberapa tulisannya tersiar di berbagai media pusat dan daerah. Karya-karyanya terantologikan tidak kurang dari 30 antologi bersama. Buku yang sudah terbit: Syahadat sukmah (La Rose), Tamasya Langit (Pustaka Pujangga), The Lamongan Soul (La Rose), The Art of Theater (Gitanjani), Seni Memahami Film (ScenMA). Namanya masuk dalam buku Apa dan Siapa Penyair Indonesia (2017). Sehari-hari bekerja sebagai tenaga pendidik bidang film, sastra, teater, dan jurnalistik di Yayasan Perguruan Matholiul Anwar Simo Sungelebak Karanggeneng Lamongan.